Perayaan Tahun Baru |
Ada sekian banyak pendapat yang berbeda perihal aturan merayakan tahun gres Masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya dengan syarat.
1. Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun gres masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang KafirBahwa perayaan malam tahun gres pada hakikatnya yakni ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Kristen atau pun agama lainnya.Sejak masuknya fatwa agama Kristen ke eropa, bermacam-macam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam fatwa itu. Salah satunya yakni perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.Walhasil, perayaan malam tahun gres masehi itu yakni perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang KafirMeski barangkali ada yang beropini bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun gres itu sudah mirip ibadah orang kafir. Dan sekedar mirip itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang mirip pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka ia termasuk belahan dari mereka.”c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh MaksiatSulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun gres dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menimbulkan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada ajuan untuk shalat malam.Maka mengharamkan perayaan malam tahun gres buat umat Islam yakni upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari dampak jelek yang lazim dikerjakan para hebat maksiat.d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ahSyariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW yakni syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal.Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun gres masehi di masjid-masijd dengan melaksanakan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali sebab datangnya malam tahun baru, yakni sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih.Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam tahun gres digelar ibadah ritual tertentu, mirip qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
2. Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun gres masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya.
Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender sebab natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat Islam sebab hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka?
Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi jikalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, jikalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun gres dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram yakni maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.
Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun gres untuk melaksanakan hal-hal positif, mirip memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya.
Demikianlah ringkasan singkat perihal perbedaan pandangan dari bermacam-macam kalangan perihal aturan umat Islam merayakan malam tahun baru.
Hari Raya Umat Islam Hanya ada Dua
Dalam agama Islam, yang namanya hari raya hanya ada dua saja, yaitu hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Selebihnya, tidak ada pensyariatannya, sehingga sebagai muslim, tidak ada kepentingan apapun untuk merayakan datangnya tahun baru.
Namun ketika harus menjawab, apakah bila ikut merayakannya akan berdosa, tentu jawabannya akan menjadi beragam. Yang terang haramnya yakni bila mengikuti perayaan agama tertentu. Hukumnya telah disepakati haram. Artinya, seorang muslim diharamkan mengikuti ritual agama selain Islam, termasuk ikut merayakan hari tersebut.
Maka semua bentuk Natal bersama, atau apapun ritual agama lainnya, haram dilakukan oleh umat Islam. Dan larangannya bersifat mutlak, bukan sekedar mengada-ada.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 7 Maret tahun 1981/ 1 Jumadil Awwal 1401 H telah mengeluarkan fatwa haramnya natal bersama yang ditanda-tangani oleh ketuanya KH M. Syukri Ghazali. Salah satu kutipannya adalah:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak sanggup dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegitan-kegiatan Natal.
Namun bagaimana dengan perayaan yang tidak terkait unsur agama, melainkan hanya terkait dengan kebiasaan suatu masyarakat atau suatu bangsa?
Sebagian kalangan masih bersikeras untuk mengaitkan perayaan datangnya tahun gres dengan kegiatan bangsa-bangsa non-muslim. Dan meski tidak pribadi terkait dengan duduk masalah ritual agama, tetap dianggap haram. Pasalnya, perbuatan itu merupakan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, meski tidak terkait dengan ritual keagamaan. Mereka mengajukan dalil bahwa Rasulullah SAW melarang tasyabbuh bil kuffar
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu kaum, maka ia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan Mahrajah di atas tanah orang-orang musyrik serta mirip mereka hingga wafat, maka di hari final zaman akan dibangkitkan bersama dengan mereka.
Tasyabbuh di sini bersaifat mutlak, baik terkait hal-hal yang bersifat ritual agama ataupun yang tidak terkait.
Namun sebagian kalangan secara tegas menawarkan batasan, yaitu hanya hal-hal yang memang terkait dengan agama saja yang diharamkan buat kita untuk menyerupai. Sedangkan pada hal-hal lain yang tidak terkait dengan ritual agama, maka tidak ada larangan. Misalnya dalam perayaan tahun baru, berdasarkan mereka umumnya orang tidak mengaitkan perayaan tahun gres dengan ritual agama. Di aneka macam belahan dunia, orang-orang melakukannya bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi bukan di dalam rumah ibadah, juga bukan perayaan agama.
Dengan demikian, intinya tidak salah bila bangsa itu merayakannya, meski mereka memeluk agama Islam.
Namun lepas dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat kita umat Islam yang bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi dan berkaca diri terhadap perayaan malam tahun baru.
Pertama, biar bagaimana pun perayaan malam tahun gres tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Kalau pun dikerjakan tidak ada pahalanya, bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai bid’ah dan peniruan terhadap orang kafir.Kedua, tidak ada laba apapun secara moril maupun materil untuk melaksanakan perayaan itu. Umumnya hanya sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang mengalami degradasi dampak pola hidup western. Bahkan seringkali malah sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percumaKetiga, bila perayaan ini selalu dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendir, dikhawatirkan pada suatu ketika akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama. Padahal perayaan itu hanyalah budaya impor yang bukan orisinil budaya bangsa kita.Keempat, sebab semua pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai muslim kita tidak perlu mentradisikan program apapun, meski tahajud atau mabit atau sejenisnya secara massal. Kalaulah ingin mengadakan malam pelatihan atau apapun, sebaiknya hindari untuk dilakukan pada malam tahun baru, supaya tidak terkesan sebagai belahan dari perayaan. Meski belum tentu menjadi haram hukumnya.
Jalan Tengah Perbedaan Pendapat
Para ulama dengan aneka macam latar belakang kehidupan, tentunya punya niat baik, yaitu sebisa mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, supaya umat tidak terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk polemik perihal duduk masalah perayaan itu yakni ditetapkannya hari libur atau tanggal merah di hari-hari raya agama lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila kita meliburkan kegiatan sekolah atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita sudah dianggap ikut merayakannya?
Sebagian beropini bahwa jikalau cuma libur tidak sanggup dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wong pemerintah memang meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun yang lain menolak, jikalau pada tanggal 25 Desember itu umat Islam pakai program ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama saja mereka termasuk ikut merayakan hari raya agama lain. Maka sebagian madrasah dan pesantren menetapkan bahwa pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran tetap berlangsung mirip biasa.
Sekarang begitu juga, ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari libur nasional, muncul juga perbedaan pendapat. Bolehkah umat Islam ikut libur di tahun baru? Apakah jikalau ikut libur berarti termasuk ikut merayakan hari besar agama lain?
Lalu muncul lagi alternatif, dari pada libur diisi dengan acarahura-hura, mengapa tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan yang bermanfaat, mirip melaksanakan pengajian, dzikir atau bahkan qiyamullail. Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dan hasilnya sudah sanggup diduga dengan pasti, yaituakan ada kalangan yang menolak mentah-mentah kebolehannya. Mereka menyampaikan bahwa pengajian, dzikir atau qiyamullaih di malam tahun gres yakni bid’ah yang diada-adakan, tidak ada pola dari sunnah Rasulullah SAW.
Lebih parah lagi, ada yang bahkan lebih ektrem hingga menyampaikan jikalau malam tahun gres kita mengadakan pengajian, dzikir, atau qiyamullail, bukan sekedar bid’ah tetapi sudah sesat dan masuk neraka. Wah…
Jadi semua itu nanti akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil, muwassi’, longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman, sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua aksara ini. Yang mutasyaddid diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan beberapa shahabat lain, sedang yangmuwassa’ diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.
Insya Allah, ada jalan tengah yang sekiranya sanggup kita pertimbangkan. Misalnya, jikalau dasarnya memang tidak ada budaya atau kebiasaan untuk bertahun gres dengan kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya, sebaiknya memang tidak usah digagas semenjak dari semula. Biar tidak menjadi bid’ah baru.
Akan tetapi jikalau kita berada pada masyarakat yang sudah harga mati untuk merayakan tahun baru, suka tidak suka tetap harus ada kegiatan, mungkin akan lain lagi ceritanya. Tugas kita ketika itu mungkin boleh saja sedikit berdiplomasi. Misalnya, tidak ada salahnya kalaukitamengusulkan supaya acaranya dibentuk yang positif mirip pengajian.
Dari pada kegiatannya dangdutan, begadang semalam suntuk atau konser musik, kan lebih baik jikalau digelar saja dalam bentuk pengajian. Anggaplah sebagai proses menuju kepada pemahaman Islam yang lebih baik nantinya, tetapi dengan cara perlahan-lahan.
Kalau kita tidak sanggup menghilangkan budaya yang sudah terlanjur mengakar dengan sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang dibenarkan secara perlahan-lahan. Kira-kira wangsit dasarnya demikian.
Tetapi yang kami sebut sebagai jalan tengah ini bukan berarti harga mati. Ini cuma sebuah pandangan, yang mungkin benar dan mungkin juga tidak. Namanya saja sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat. Dan mungkin suatu ketika kami koreksi ulang.
0 Response to "Bolehkah Umat Islam Merayakan Tahun Gres Masehi?"